Edi Sampurno, M.Nurs., PhD
Di tengah perubahan besar yang terjadi pada struktur penduduk Indonesia, isu penuaan dan kesiapan sistem kesehatan menjadi salah satu topik strategis yang semakin mendesak untuk dibahas. Sebagai seorang peneliti dan praktisi di bidang gerontologi serta kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan, saya semakin meyakini bahwa sistem kesehatan Indonesia harus segera beradaptasi dengan transisi demografi lansia yang sedang berlangsung.
Indonesia kini memasuki fase population ageing. Proporsi penduduk berusia 60 tahun ke atas telah melampaui 10% dan akan terus meningkat hingga diperkirakan mencapai hampir 20% pada tahun 2045. Perubahan struktur penduduk ini bukan sekadar fenomena statistik namun akan membawa implikasi mendalam terhadap kebutuhan layanan kesehatan, pembiayaan, dan kapasitas sistem kesehatan secara keseluruhan. Sebagai seseorang yang berkecimpung dalam dunia gerontologi, data lansia menghadapi beban penyakit kronis, multimorbiditas, penurunan kognitif, dan keterbatasan fungsional meningkat seiring waktu.
Transisi demografi ini menuntut perubahan paradigma. Sistem kesehatan yang selama ini berfokus pada penyakit akut tidak lagi cukup. Lansia membutuhkan layanan yang berkelanjutan, terintegrasi, dan berorientasi pada kemampuan fungsional. Dalam perspektif gerontologi, pendekatan holistik terhadap penuaan meliputi aspek biologis, psikologis, sosial, hingga lingkungan yang harus menjadi dasar perencanaan kebijakan. Penuaan bukan sekadar bertambahnya usia, melainkan proses kompleks yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam konteks kebijakan dan manajemen pelayanan kesehatan lansia, ada empat urgensi besar. Pertama, penguatan pelayanan primer. Puskesmas harus menjadi pusat deteksi dini, manajemen komorbid, skrining frailty, serta promosi kesehatan mental lansia. Pendekatan berbasis keluarga dan komunitas termasuk Posyandu Lansia dan home care yang harus dioptimalkan.
Kedua, pembiayaan kesehatan perlu diarahkan pada keberlanjutan. Tanpa skema pendanaan long-term care yang jelas, keluarga akan menanggung beban biaya yang sangat besar. Indonesia membutuhkan model pembiayaan yang lebih solid untuk memastikan akses layanan jangka panjang yang adil dan terjangkau.
Ketiga, peningkatan kapasitas SDM kesehatan menjadi prioritas. Masih banyak tenaga kesehatan belum banyak dibekali kompetensi geriatri dan gerontologi. Padahal, penilaian lansia memerlukan keahlian multidisiplin mulai dari asesmen fungsional, kognitif, nutrisi, hingga manajemen risiko jatuh. Pelatihan yang memperkuat person-centered care dan interprofessional collaboration sangat penting untuk diperluas.
Keempat, tata kelola layanan harus diperkuat. Rumah sakit perlu mengembangkan layanan geriatric-friendly, mulai dari ruang rawat khusus, asesmen komprehensif, hingga discharge planning yang terintegrasi dengan komunitas. Puskesmas perlu memperbaiki sistem rujukan dan koordinasi agar lansia tidak terjebak dalam pelayanan yang terfragmentasi.
Sebagai seseorang yang mendedikasikan diri pada isu penuaan dan sistem kesehatan, saya percaya bahwa transisi demografi lansia adalah momentum penting untuk memperbaiki struktur layanan kesehatan kita. Dengan memadukan perspektif gerontologi dan kebijakan kesehatan, Indonesia dapat membangun sistem yang lebih adaptif, responsif, dan berkeadilan sebuah sistem yang benar-benar mampu memastikan bahwa setiap lansia hidup lebih sehat, mandiri, dan bermartabat.
Recent Comments